Tak Terduga, Perempuan Juga Dapat Menjadi Pelaku Pelecehan Seksual!
Diterbitkan:

Istimewa
Kapanlagi.com - Selama ini, perempuan sering kali dipandang sebagai korban dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, seiring dengan perubahan sosial dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, terungkap fakta menarik: kaum hawa kini juga bisa berperan sebagai pelaku pelecehan.
I Gusti Ngurah Agung Krisna Aditya, seorang sosiolog dari Universitas Udayana Bali, menjelaskan bahwa perempuan yang biasanya berada dalam posisi subordinasi, kini mulai berani mengekspresikan diri dan menunjukkan ketertarikan mereka dalam hal seksualitas. Transformasi digital yang terjadi membuat segalanya menjadi lebih terbuka dan terekspos, sehingga keberanian perempuan untuk mengekspresikan ketertarikan terhadap lawan jenis menjadi hal yang biasa.
Fenomena ini terlihat jelas dalam fandom Kpop yang didominasi oleh perempuan. Menurut Krisna, fandom tersebut adalah bentuk luapan ekspresi kekaguman fisik yang berkaitan dengan seksualitas. Namun, luapan emosi ini bisa berisiko mengarah pada pelecehan seksual, baik secara langsung maupun di ranah digital melalui komentar-komentar yang tidak pantas.
Advertisement
"Persepsi perempuan tentang batasan perilaku yang bisa dianggap sebagai pelecehan seksual terhadap laki-laki pun berbeda," ungkap Krisna dalam pesan suara kepada Tim Lifestyle Liputan6.com. Ia menambahkan bahwa biasanya, laki-laki melakukan cat calling atau panggilan yang berpotensi melecehkan, dengan cara menilai perempuan secara visual dan menyentuhnya secara langsung.
Sementara itu, perempuan yang mengagumi idola mereka cenderung mengekspresikan kekaguman tersebut melalui komentar-komentar mengenai fisik sang idola atau sosok laki-laki yang menarik di mata mereka.
Dengan demikian, fenomena ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika gender dalam konteks pelecehan seksual di era modern. Perubahan cara pandang dan ekspresi ini perlu diwaspadai agar tidak melampaui batas yang seharusnya.
1. Bisa Jadi Hanya Bentuk Ekspresi Seksualitas
Bagi banyak perempuan, komentar di media sosial yang penuh pujian untuk idola bukanlah niat untuk melecehkan. Terutama ketika idola tersebut memiliki daya tarik visual yang memancarkan maskulinitas.
"Mungkin mereka tidak menyadari bahwa itu bisa dianggap sebagai pelecehan, namun sebenarnya itu adalah ekspresi emosional dari perempuan yang mengagumi sosok lawan jenis, bahkan ketika mereka hanya menampilkan diri di media sosial," ungkap Krisna.
Ia menambahkan, berbeda dengan laki-laki yang cenderung mencari visualisasi yang lebih eksplisit dari seksualitas perempuan, perempuan sering kali terpesona oleh karakter laki-laki dari sisi yang lebih mendalam, meski berpakaian sopan.
"Banyak perempuan yang tidak memerlukan tampilan yang terbuka untuk bisa membayangkan daya tarik seksual seorang laki-laki," tambahnya.
(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)
2. Tidak Lazim di Budaya Timur
Dalam pandangan Gusti, luapan ekspresi terkait seksualitas adalah hal yang wajar, mengingat seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Ia menjelaskan bahwa di budaya Timur, perempuan sering kali enggan secara terbuka mengekspresikan keinginan seksual mereka.
"Visualisasi perempuan dalam konteks ini masih jarang, karena norma sosial menghalangi mereka untuk berbicara secara langsung tentang pemuasan seksual," ujarnya.
Gusti juga menambahkan bahwa sulit untuk mendefinisikan apa yang merangsang seorang perempuan, apakah itu tubuh atletis atau penampilan rapi seorang pria, karena esensi maskulinitas yang ditunjukkan oleh laki-laki sering kali lebih menggugah imajinasi perempuan.
Akibatnya, perempuan terkadang mengekspresikan ketertarikan mereka melalui komentar yang terkesan ekstrem, seperti "Rahimku hangat buatmu," yang sudah melampaui batas dan masuk dalam kategori pelecehan seksual, lebih parah dibandingkan tindakan cat calling atau sentuhan yang dilakukan oleh laki-laki.
Advertisement
3. Media Sosial Membuka Ruang
Dalam era perubahan sosial yang kian dinamis, Gusti menyoroti bahwa pengguna media sosial kini tak lagi mengenal batasan gender antara laki-laki dan perempuan.
Menariknya, perempuan menunjukkan kreativitas yang mungkin melebihi laki-laki dalam mengekspresikan seksualitas mereka tanpa harus bergantung pada visualisasi erotis.
Mereka mampu menyalurkan ekspresi tersebut melalui komentar di media sosial, baik dengan akun asli maupun anonim, sehingga menciptakan ruang kebebasan yang lebih luas. Namun, stigma yang menganggap pelecehan seksual sebagai domain laki-laki membuat perempuan kebal terhadap anggapan bahwa mereka pun bisa menjadi pelaku.
Ironisnya, tindakan seperti berkomentar di media sosial sering kali dianggap sebagai bentuk ekspresi bebas, padahal bisa saja berpotensi menjadi pelecehan.
Gusti mengingatkan bahwa meski media sosial memberikan kebebasan berpendapat, penting bagi semua pengguna baik laki-laki maupun perempuan—untuk bijak dalam berinteraksi dan menghormati batasan yang ada.
(Demo kenaikan gaji anggota DPR memanas setelah seorang Ojol bernama Affan Kurniawan menjadi korban. Sederet artis pun ikut menyuarakan kemarahannya!)
(kpl/rao)
M Rizal Ahba Ohorella
Advertisement