Perjalanan Panjang Menuju Impian: Pelajaran dari Seorang Nenek tentang Tidak Pernah Menyerah Belajar
Diperbarui: Diterbitkan:
source: Universitas Trisakti
Kapanlagi.com - Oleh: Dr. Dra. Wiwik Dahani, MT
Dosen Senior, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti
Ada keheningan yang berbeda, di kursi sempit gerbong kereta malam, di antara Jakarta dan Surabaya. Keheningan itu bukanlah kedamaian. Ia dipenuhi gemuruh mesin, bisik-bisik percakapan samar, dan cahaya ponsel yang memantul di wajah-wajah lelah. Dalam gelapnya malam, di perjalanan panjang yang tak terhitung jumlahnya, aku mendengar suara hatiku sendiri...... suara yang mengingatkanku pada ayat pertama yang pernah diturunkan Tuhan kepada manusia: "Iqra' bismi rabbikal-ladzi khalaq..." yang artinya "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-'Alaq: 1)
Malam-malam panjang itu menjadi saksi, bahwa di setiap baris disertasi, di setiap doa lirih, aku membaca bukan hanya buku dan jurnal, tapi juga membaca diriku sendiri, membaca alam semesta.
Advertisement
1. Awal Sebuah Keberanian
Agustus 2025, di usiaku yang 63 tahun, aku telah memasuki usia senja, menjadi titik balik dalam perjalanan hidupku. Aku berdiri dengan penuh haru. Gelar Doktor kini resmi melekat di namaku, dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Namun, gelar ini bukanlah tujuan. Gelar ini adalah perjalanan. Ia adalah bukti bahwa belajar tidak mengenal batas usia.
Selama 38 tahun aku mengajar di Universitas Trisakti. Aku mendidik mahasiswa, mendorong mereka menembus batas, mengejar pengetahuan dengan sepenuh hati.
Tapi ketika melihat cucu-cucuku tumbuh, pertanyaan itu berbisik lembut di sudut hati: "Apakah aku sudah cukup? Apakah pengetahuanku sudah berhenti di sini?"
Pertanyaan itu tak membuatku tidur nyenyak. Maka, aku mengambil keputusan yang versi muda dari diriku sendiri mungkin akan menganggapnya gila. Aku mendaftar program doktoral. Bukan untuk mengejar jabatan. Bukan untuk mendaki karier. Kapal itu sudah lama berlayar. Ini tentang mencari makna hidup. Ini tentang menjadi teladan bagi mahasiswa, kolega, dan dosen muda bahwa ruang kelas paling penting adalah ruang yang kita bangun untuk diri kita sendiri.... meski usia tak lagi muda, meski rintangan menghadang.
(Ammar Zoni dipindah ke Nusakambangan dan mengaku diperlakukan bak teroris.)
2. Malam-Malam yang Melelahkan
Sejak hari itu, hidupku berubah. Ia menjadi persamaan rumit antara logistik, cinta, keluarga, dan tekad. Senin hingga Kamis, Aku mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, membantu cucu-cucu mengerjakan PR, lalu pamit. Saat senja tiba, Aku melangkah ke stasiun kereta, koper kecil di tangan, doa besar di dada. Di atas gerbong kereta, aku membuka laptop, menulis halaman demi halaman disertasi. Jumat dan Sabtu, Aku habiskan di ITS dengan bertemu promotor, menghadiri seminar, dan mencatat setiap kata yang penting. Punggungku sering menjerit, mata lelah, tubuh rapuh, tapi semangatku tetap utuh.
Banyak bagian disertasiku lahir di bawah cahaya redup lampu perjalanan, sementara pemandangan sawah, kota, dan bukit Jawa melintas kabur di balik jendela. Di setiap detiknya, aku berbisik dalam hati: "Ya Allah, kuatkan aku karena mimpi ini layak diperjuangkan."
3. Saat Tubuhku Menyerah
Tapi bahkan tekad yang paling besar pun diuji. Stres perjalanan, dan malam-malam panjang membuat tubuhku akhirnya rebah. Aku terbaring di ranjang rumah sakit, memandang langit-langit putih, dan bertanya pada Tuhan dengan suara nyaris patah: "Apakah ini batasnya? Apakah aku harus berhenti?"
Namun di sanalah aku menemukan jawabannya. Aku mengingat firman-Nya: "Fa inna ma'al 'usri yusra..." yang artinya "Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan" (QS. Asy-Syarh: 6)
Air mataku jatuh. Aku teringat cucu-cucuku yang melihatku sebagai pejuang. Aku teringat mahasiswa-mahasiswaku yang belajar dariku arti kegigihan. Jika aku menyerah. Apa yang akan kupelajari tentang mimpi? Apa yang akan kutinggalkan untuk mereka?
Di titik itu, aku memilih bangkit.
4. Kekuatan yang Menopangku
Aku tidak berjalan sendirian. Ada tangan-tangan yang menguatkanku. Anak-anakku yang menjadi tiang semangat, teknisi darurat, dan penyokong jiwa. Rekan-rekan dosen yang rela menggantikan kelasku tanpa keluh. Para profesor dan promotor di ITS yang tak pernah memandangku sebagai "nenek aneh", tetapi rekan sejawat yang setara. Merekalah jangkar yang menahan kapal ini agar tak karam di tengah badai.
5. Hari Itu, Di Ruang Sidang Disertasi
Lalu hari itu tiba. Hari di mana segala lelah menemukan maknanya. Di ruang sidang disertasi, aku berdiri dengan hati yang bergetar. Semua perjalanan bus, semua kursi kereta, semua doa dan air mata, berdiri bersamaku hari itu. Ketika promotor berkata, "Lulus. Sangat memuaskan." Aku menunduk. Air mataku jatuh, bukan karena gelarnya tetapi karena perjalanannya.
6. Bukti Hidup Bahwa Usia Tak Pernah Membatasi Mimpi
Kini, ijazah Doktor itu tergantung di dinding rumahku. Namun piala sesungguhnya bukanlah selembar kertas itu. Piala sejati adalah sorot mata cucuku saat ia berbisik penuh bangga: "Nenekku seorang Doktor." Saat itu, aku menangis. Semua sakit, semua penat, semua malam Panjang lunas terbayar oleh satu kalimat kecil itu.
Satu setengah tahun lagi aku pensiun. Namun, aku ingin meninggalkan pesan: "Jika kau percaya bahwa mimpi memiliki batas usia lihatlah aku. Aku adalah bukti hidup bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar, berjuang, dan menang." Karena aku percaya, setiap perjalanan hidup kita, meski penuh rintangan dan air mata, selalu menyimpan janji Tuhan: "Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan." Dan aku adalah buktinya.
Aku tahu anugerah doktor, jenjang pendidikan tertinggi ini bukanlah cuma-cuma, ada amanah di dalamnya, pintaku kepadaMu "Ya Allah, beri aku waktu, beri aku kesempatan mengamalkan ilmuku sebelum tiba ajalku."
(Lama mendekam di dalam tahanan, badan Nikita Mirzani jadi lebih kurus sampai tulang kelihatan.)
(kpl/jje)
Advertisement
-
Teen - Lifestyle Musik Lirik Lengkap Lagu-Lagu Terpopuler Raisa Dari Masa Ke Masa
