Kids Entrepreneurs in Digital and AI Age - Mendorong Anak Belajar AI dengan Bijak

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diperbarui: Diterbitkan:

Kids Entrepreneurs in Digital and AI Age - Mendorong Anak Belajar AI dengan Bijak
credit: Cakap

Kapanlagi.com - Ellezza Suites, Permata Hijau menjadi saksi gelaran talkshow inspiratif bertajuk "Kids Entrepreneurs in Digital and AI Age" yang dipaparkan oleh Aleima Aruna Sharuna, Head Yayasan Cakap untuk Bangsa. Acara yang berlangsung pada Sabtu sore, pukul 16.00-17.00 WIB ini sukses menarik perhatian para orang tua dan pendidik yang ingin membekali anak-anak mereka dengan wawasan tentang kecerdasan buatan (AI) dalam dunia entrepreneurship. Topik pembahasan dalam acara tersebut dirangkum dalam poin-poin berikut.

1. Kapan Anak Bisa Mulai Belajar AI?

Anak-anak bisa mulai mengenal AI sejak dini, asalkan dibimbing dengan tepat.Menurut Aleima, meskipun eksplorasi awal bisa dimulai sejak kecil, usia yang ideal untuk mempelajari AI secara lebih serius adalah sekitar 13-14 tahun. Pada tahap ini, anak-anak umumnya sudah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsep teknologi dan etika penggunaannya. “Bimbingan itu penting. Jangan dilepas sendiri pakai AI tanpa arahan,” ujar Aleima. Hal ini bertujuan untuk memastikan anak-anak tidak hanya memahami cara menggunakan AI, tetapi juga mengembangkan pemikiran kritis serta tanggung jawab dalam menggunakannya.

(Rumah tangga Tasya Farasya sedang berada di ujung tanduk. Beauty vlogger itu resmi mengirimkan gugatan cerai pada suaminya.)

2. AI sebagai Alat untuk Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur

Kecerdasan buatan (AI) dapat membantu anak-anak dalam mengembangkan bisnis. Anak-anak dapat mengolah dan menganalisis data dengan lebih cepat, sehingga mereka dapat memahami tren pasar, mengidentifikasi peluang bisnis, serta membuat keputusan yang lebih tepat. Namun, Aleima juga mengingatkan bahwa AI hanyalah alat yang mendukung proses berpikir manusia, bukan pengganti kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Manusia tetap perlu mengembangkan ide-ide unik, mengambil keputusan berdasarkan nilai dan pengalaman, serta menciptakan solusi yang relevan. Sehingga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pengasahan keterampilan manusia tetap harus dijaga.

3. Peran Orang Tua dalam Penggunaan AI

Orang tua tidak hanya perlu mendukung, tetapi juga memahami potensi dan risiko AI. "Bukan berarti AI menggantikan proses belajar, tapi justru jadi alat bantu yang bisa mempermudah," ungkap Aleima. Tanpa pendampingan yang tepat, anak-anak berisiko menggunakan AI secara kurang produktif atau bahkan mengalami dampak negatif. Salah satu risiko utama adalah ketergantungan pada teknologi, di mana anak-anak cenderung hanya mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas tanpa benar-benar memahami konsep atau proses berpikir di baliknya. Hal ini dapat menghambat perkembangan keterampilan kognitif mereka, seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Oleh karena itu, orang tua perlu terlibat aktif dengan cara mengawasi, berdiskusi, dan memberikan pemahaman tentang bagaimana menggunakan AI secara positif.

4. Menghindari Ketergantungan pada AI

Salah satu kekhawatiran yang dibahas adalah ketergantungan anak pada AI. Aleima menyarankan agar orang tua membatasi waktu penggunaan AI, misalnya maksimal 30 menit per sesi belajar. Tetapi setelah itu, anak-anak harus tetap diajak untuk mendiskusikan, menganalisis, atau menulis dengan pemikiran mereka sendiri. Agar tetap bisa mengasah rasa ingin tahu dan mengajak mereka berpikir kritis.

5. AI dalam Membangun Hubungan Orang Tua dan Anak

AI juga bisa menjadi alat yang mempererat hubungan orang tua dan anak, asalkan digunakan dengan bijak dan penuh pendampingan. "Never too old to learn AI" tegas Aleima, mengajak para orang tua untuk ikut belajar memahami AI sehingga dapat mengarahkan penggunaan AI secara optimal bagi anak-anak mereka.

Kesimpulan dalam talkshow ini ditutup dengan pesan kuat dari Aleima: Gunakan AI dengan bijak, sesuai fungsinya, dan selalu dampingi anak saat menggunakannya. Teknologi seharusnya tidak menggantikan peran orang tua dan guru, melainkan menjadi alat yang mendukung proses belajar dan kreativitas anak. Aleima Sharuna merupakan Head Yayasan Cakap untuk Bangsa; sebuah inisiatif dari Cakap yang berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan generasi muda melalui teknologi. Cakap untuk Bangsa berkomitmen membantu anak-anak Indonesia berkembang di era digital dan AI dengan tetap mempertahankan nilai-nilai pendidikan yang berkualitas.

(kpl/jje)

Rekomendasi
Trending