Fakta Konsep Wisata Halal yang Bakal Segera Dikembangkan di Banyuwangi
Diperbarui: Diterbitkan:

Kapanlagi.com - Wacana pengembangan wisata halal di Banyuwangi makin jadi topik yang hangat diperbincangkan. Sebagian masyarakat menyambutnya dengan antusias, mengingat wisata halal lagi jadi hal yang tren beberapa tahun belakangan ini. Tapi, nggak sedikit juga yang menganggap rencana ini menjurus ke arah Arabisasi, atau mengikuti budaya Arab yang jelas jauh dari konsep budaya Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi, sebelum memberikan penilaian yang keliru, ada baiknya kamu memahami dulu konsep pariwisata halal yang sebenarnya. Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana Bali, I Gde Pitana, memberikan penjelasan secara detail tentang hal tersebut supaya masyarakat nggak salah paham.
Nggak hanya bergelar sebagai guru besar, Pitana sudah punya banyak pengalaman dalam bidang pariwisata di tanah air. Sosok yang satu ini sudah mengabdi selama 14 tahun di Kementerian Pariwisata dengan jabatan terakhir sebagai Deputi. Ia menjelaskan bahwa pengembangan wisata halal sebenarnya punya konsep serupa seperti pengembangan wisata kuliner, vegetarian, dan sejenisnya yang lebih dikenal dengan istilah extended product.
Advertisement
“Sama seperti program-program lainnya, pariwisata halal berorientasi ke pasar. Karena pasarnya ada dan itu tidak bertentangan dengan etika, undang-undang, ataupun agama. Jadi wajar saja bila pariwisata halal diprogramkan oleh Kemenpar. Sama seperti halnya pengembangan pariwisata vegetarian, kuliner, dan apa pun bentuknya. Itu masuk dalam extended product,” papar Pitana, Minggu (30/6) malam.
Dijelaskannya, hal pertama yang akan dicari wisatawan adalah destinasi. Dan mereka akan mencari destinasi terbaik seperti Bali atau Lombok. Sesampainya di destinasi, para wisatawan akan mencari segala sesuatu sesuai kebutuhan mereka.
“Setelah sampai di destinasi itulah mereka akan mencari kebutuhan mereka. Misalnya ada wisatawan yang vegetarian, kita siapkan kuliner vegetarian, ada wisatawan yang butuh babi guling kita siapkan. Jika ada ada wisatawan yang butuh makanan halal sesuai dengan keyakinan, ya kita siapkan makanan yang halal. Jadi, dia sejajar dengan produk produk lain sebagai extended product,” jelasnya.
Sebagai orang yang sangat menguasai pariwisata, Pitana tidak sembarangan memberikan contoh. Ia mengingatkan saat Raja Salman asal Arab Saudi berkunjung ke Bali.
Saat itu, Raja Salman bukan mencari pariwisata halal. Tapi, mencari Bali sebagai destinasi. Tetapi setelah di Bali, Raja Salman membutuhkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan keyakinan beliau. Seperti makanan yang halal, tempat ibadah, dan produk-produk halal lainnya.
Kehadiran Raja Salman, tidak menjadikan Bali sebagai Destinasi Pariwisata Halal. Tapi, Bali memiliki extended product berupa pariwisata halal.
“Hal yang sama dilakukan di Banyuwangi. Kalau ada pasar seperti itu, Pemda Banyuwangi harus menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh pasar. Tidak berarti Banyuwangi menjadi Destinasi Wisata Halal. Tetapi Banyuwangi akan memiliki extended product berupa pariwisata halal,” jelasnya.
I Gde PItana yang beragama Hindu, mengaku sering ke Banyuwangi. Di sana, ia kerap kali melakukan perjalanan religius ke beberapa tempat yang berhubungan dengan sejarah orang Bali. Atau sesuai dengan keyakinan orang Bali yang beragama hindu. Misalnyanya di Pura Blambangan, di Alas Purwo, di pemandian Gunung Raung, dan lainnya.
“Pengalaman saya pribadi dan teman-teman lain, sama sekali tidak mendapatkan hambatan untuk melakukan pilgrimage, atau bahasa Balinya, tirtayatra di Banyuwangi. Jadi saya melihat langsung istilah untuk melakukan Arabisasi kemudian akan mematikan hindu, saya tidak melihatnya sebagai kebenaran,” papar Pitana.
Saat melakukan tirtayatra ke Alas Purwo, Pura Blambangan, atau ke Pecandian Petirtaan di Kaki Gunung Raung, Pitana juga tidak menemui masalah.
"Masyarakat sangat welcome dengan kami. Teman-teman beragama Islam bahkan mengantarkan kami ke pemandian di Glenmor. Dan mereka dengan senang hati melakukannya. Karena itu menjadi bagian dari pariwisata religius dalam hal ini Hindu. Dan bermanfaat bagi masyarakat setempat,” jelasnya.
Pitana juga menegaskan jika program pariwisata halal dan yang lainnya, merupakan program atas permintaan pasar dan didasarkan potensi lokasi.
“Jadi seperti ini, kalau misalnya daerah seperti Bali tidak bisa dibrand dengan pariwisata halal dan syariah. Dan saya juga menentang kalau Bali menjadi Destinasi Halal. Tetapi, sebagai tuan rumah yang baik, jika teman-teman muslim datang ke Bali kita akan siapkan amenitas seusai kebutuhan mereka. Kalau ada teman-teman dari India, kita juga siapkan amenitas sesuai kebutuhan mereka. Seperti tidak memakan daging sapi, atau kita siapkan makanan vegetarian,” tegasnya.
Menurutnya, sebagai destinasi kita tidak boleh mengutamakan satu produk. Tapi, harus merangkul semua pasar. Pasar apa pun yang datang harus diterima dengan baik, dilayani dengan baik. Dengan catatan, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, kebudayaan, dan lainnya.
Dijelaskannya hal itu tercantum dalam dasar-dasar pengembangan destinasi yang disebut dengan 3A. namun, basic kriterianya sudah dikembangkan sejak tahun 90-an. Dan dikenal dengan sapta pesona.
(Rumah tangga Tasya Farasya sedang berada di ujung tanduk. Beauty vlogger itu resmi mengirimkan gugatan cerai pada suaminya.)
(*/wri)
Wuri Anggarini
Advertisement