Direktur Mie Gacoan Bali Jadi Tersangka, Kasus Hak Cipta Musik Jadi Peringatan Serius untuk Industri F&B

Penulis: Tantri Dwi Rahmawati

Diterbitkan:

Direktur Mie Gacoan Bali Jadi Tersangka, Kasus Hak Cipta Musik Jadi Peringatan Serius untuk Industri F&B
(Credit: instagram.com/mie.gacoan)

Kapanlagi.com - Kasus pelanggaran hak cipta yang menyeret Direktur Mie Gacoan Bali menjadi sorotan nasional. I Gusti Ayu Sasih Ira resmi ditetapkan sebagai tersangka setelah Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan dugaan pelanggaran penggunaan karya musik di outlet Mie Gacoan tanpa membayar royalti.

SELMI sebelumnya sudah menempuh langkah persuasif dengan mengirimkan surat teguran dan mengajak mediasi. Namun, pihak Mie Gacoan disebut tidak menggubris upaya damai tersebut.

Kasus ini kemudian bergulir ke ranah hukum dan mendapat dukungan penuh dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Menurut pernyataan resmi LMKN, kasus ini menjadi langkah penting dalam menegakkan perlindungan hak cipta, terutama dalam industri kuliner yang kerap abai terhadap kewajiban membayar royalti musik yang diputar secara publik.

1. Berikan Efek Jera

"Ini menjadi efek jera bagi pelaku usaha yang lalai," ujar Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, dikutip dari Kompas.com. Ia juga menegaskan bahwa royalti bukan sekadar beban, tapi bentuk penghargaan terhadap karya musisi.

Penting untuk dipahami, pemutaran musik secara publik seperti di restoran, kafe, pusat perbelanjaan, atau bar memiliki konsekuensi hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pemilik usaha wajib membayar royalti kepada pencipta musik yang karyanya digunakan secara komersial.

Sementara mendengarkan musik untuk konsumsi pribadi di rumah atau mobil tidak termasuk pelanggaran. Namun jika musik digunakan untuk menciptakan suasana bisnis atau hiburan publik, wajib ada izin dan pembayaran royalti.

(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)

2. Perlu Dikaji Ulang

Praktisi bisnis sekaligus guru besar Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, turut menanggapi kasus ini. Menurutnya, perhitungan royalti selama ini masih dirasa membebani, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

“Perhitungan yang digunakan itu jumlah kursi dikali Rp120.000 per tahun per outlet. Kalau kursi ada 50, itu artinya satu outlet sudah harus bayar Rp6 juta per tahun. Bayangkan kalau punya 10 outlet,” kata Rhenald Kasali, dikutip dari Detik Finance.

Ia menilai pendekatan ini perlu dikaji ulang karena tidak semua kursi terisi setiap hari, dan musik yang diputar pun sering kali bukan pilihan pengunjung.

3. Kondisi Ekonomi Sulit

Isu tentang beban royalti juga berkaitan dengan daya beli masyarakat dan biaya operasional. Pelaku usaha makanan dan minuman (F&B) harus menyisihkan dana untuk royalti, padahal mereka juga tengah berjuang menghadapi fluktuasi harga bahan baku, sepinya pelanggan, dan inflasi.

Efek domino dari kewajiban royalti ini bisa berujung pada kenaikan harga menu, yang justru membuat bisnis makin tertekan. Beberapa pelaku usaha mempertanyakan transparansi aliran dana royalti serta dasar perhitungan yang digunakan.

Masalah utama lainnya adalah kurangnya edukasi. LMKN dinilai belum masif dalam menyosialisasikan kewajiban membayar royalti kepada para pelaku usaha, terutama di sektor F&B yang berkembang pesat. Banyak pemilik usaha yang bahkan tidak tahu bahwa memutar musik tanpa izin bisa berujung pidana.

4. Kesadaran Akan Hak Cipta

Namun, LMKN justru memilih menempuh jalur hukum lebih dulu ketimbang edukasi yang sistematis. Hal ini menimbulkan reaksi campur aduk dari masyarakat dan asosiasi pelaku usaha.

Kasus ini menandai pentingnya kesadaran akan hak cipta di tengah era digital. Masyarakat umum dan pelaku industri perlu memahami bahwa musik adalah karya intelektual yang dilindungi undang-undang. Sama halnya seperti menggunakan software atau film bajakan, memutar musik tanpa izin di ruang publik adalah pelanggaran hukum.

Pelajaran dari kasus Gacoan Bali ini diharapkan bisa membuka ruang dialog antara pemilik usaha, pemerintah, dan lembaga pengelola royalti, agar tercipta sistem yang adil dan transparan bagi semua pihak.

(Demo kenaikan gaji anggota DPR memanas setelah seorang Ojol bernama Affan Kurniawan menjadi korban. Sederet artis pun ikut menyuarakan kemarahannya!)

Rekomendasi
Trending