Alasan Mengapa Generasi Millenial Lebih Pilih Beri Nama Anak yang Panjang dan Ribet
Ilustrasi ibu dan bayinya. (credit: unsplash.com)
Kapanlagi.com - Dalam beberapa dekade terakhir, tren pemberian nama anak mengalami transformasi yang mencolok. Nama-nama klasik seperti Budi, Sari, atau Adi kini mulai terpinggirkan oleh pilihan-pilihan yang lebih panjang dan terkesan megah, seperti Azzalea, Baheera, atau Kenzie. Perubahan ini bukan sekadar soal selera, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang berkembang di kalangan generasi milenial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga melanda berbagai negara di seluruh dunia, mulai dari Jepang, Jerman, Amerika Serikat, hingga Prancis. Para orang tua kini semakin termotivasi untuk memberikan nama yang unik, modern, dan bahkan lintas budaya. Ini bukan hanya tentang memberi nama, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi identitas dan strategi sosial yang cerdas.
“Nama merupakan inti identitas kita dan juga terkait dengan identitas hukum yang penting, bagaimana kita diidentifikasi oleh negara dan pemerintah. Nama juga merupakan bagian dari identitas sosial budaya kita. Nama menandai siapa kita dalam hal gender, etnis, dan hal-hal lainnya,” kata seorang sosiolog di Universitas Leicester, Jane Pilcher, dikutip dari bbc.com.
Advertisement
1. Pergeseran Budaya: Dari Tradisional Menuju Global
Tren penamaan anak saat ini menunjukkan pergeseran yang menarik, dengan pengaruh kosakata asing, terutama dari bahasa Inggris dan Arab, yang semakin mendominasi. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Teguh Setiawan dari UNY, terungkap bahwa antara tahun 2000 hingga 2020, banyak nama baru seperti Amanda, Valery, dan Athar muncul di akta kelahiran di Jawa Tengah, menggeser nama-nama lokal yang dulu populer.
Para orang tua milenial cenderung menghindari nama-nama yang terlalu kental dengan identitas lokal, lebih memilih nama-nama yang mencerminkan kemodernan dan nuansa internasional. Menurut Teguh, pilihan nama ini tak hanya dipengaruhi oleh wawasan dan pendidikan, tetapi juga mencerminkan keinginan untuk tampil berbeda dari generasi sebelumnya.
Dalam masyarakat yang semakin kompetitif, nama bukan sekadar identitas, melainkan juga simbol status dan pengetahuan global orang tua, yang semakin memperkuat citra sosial mereka.
(Di luar nurul, Inara Rusli dilaporkan atas dugaan perselingkuhan dan Perzinaan!)
2. Nama Unik sebagai Cerminan Individualisme
Jean Twenge, seorang profesor psikologi di San Diego State University, mengungkapkan bahwa semakin individualistis suatu masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk memberikan nama-nama yang unik kepada anak-anak mereka. Di Amerika Serikat dan Inggris, sejak tahun 1950-an, nama-nama umum mulai meredup popularitasnya, digantikan oleh nama-nama yang lebih eksentrik atau variasi ejaan dari nama yang sudah ada, seperti "Jaxson".
Fenomena ini juga terlihat di negara-negara dengan sejarah kolonialisasi seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Michael Varnum dari Arizona State University menjelaskan bahwa hal ini berakar dari mentalitas perintis yang mengedepankan kemandirian dan penolakan terhadap norma. Masyarakat yang terbiasa beradaptasi dengan lingkungan baru cenderung memilih nama-nama yang berbeda sebagai simbol kemandirian mereka.
Dalam era di mana ekspresi diri semakin dihargai, nama pun berfungsi sebagai sarana untuk menonjolkan keunikan individu, terlihat dari maraknya penggunaan nama rangkap seperti Amelia-Rose di Inggris atau kombinasi karakter kanji yang unik di Jepang.
3. Peran Ekonomi dan Kelas Sosial dalam Penamaan
Nama bukan sekadar identitas, melainkan juga cerminan status sosial seseorang. Menurut Varnum, ketika ekonomi membaik, orang lebih berani memilih nama-nama unik sebagai bentuk ekspresi diri, berkat ketersediaan sumber daya yang lebih. Penelitian Emily Bianchi dari Emory University mendukung hal ini, menunjukkan bahwa tren nama umum justru meningkat saat pengangguran melanda.
Di Indonesia, Nurhayati dari Universitas Diponegoro menambahkan bahwa orang tua dari kalangan menengah ke bawah sering memilih nama internasional untuk anak mereka, berharap bisa mengangkat status sosial dan menyesuaikan diri dengan masyarakat global.
Dengan demikian, nama menjadi lebih dari sekadar label; ia berfungsi sebagai alat negosiasi dalam meraih posisi sosial yang diinginkan, sekaligus mempersiapkan generasi mendatang untuk bersaing di kancah global.
4. Pengaruh Nama terhadap Masa Depan Anak
Nama ternyata memiliki dampak yang jauh lebih dalam daripada sekadar identitas; ia berperan penting dalam membentuk kehidupan sosial dan profesional seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa nama yang mudah diucapkan sering kali lebih diterima dan diasosiasikan dengan posisi tinggi, seperti di firma hukum, sementara nama yang jarang ditemui di dunia kencan daring cenderung diabaikan.
Menariknya, nama-nama androgini dapat memengaruhi pilihan studi dan karier, di mana anak perempuan dengan nama netral lebih cenderung memilih jurusan sains atau matematika. Bahkan, nama yang terdengar maskulin bisa memberikan keuntungan bagi perempuan di bidang hukum.
Namun, di sisi lain, anak laki-laki yang memiliki nama feminin sering kali menghadapi tantangan perilaku di sekolah, terutama jika ada anak perempuan dengan nama yang sama di kelas. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh nama dalam membentuk jalan hidup seseorang.
5. Regulasi Nama: Ketika Negara Turut Campur
Di berbagai belahan dunia, kebebasan orang tua dalam memberi nama anak tidak selalu tanpa batas. Contohnya, di Islandia, setiap nama harus diambil dari daftar resmi pemerintah, sementara Jerman mewajibkan nama-nama mencerminkan jenis kelamin untuk melindungi anak dari potensi perundungan akibat nama yang dianggap "aneh".
Bahkan, pengadilan di beberapa negara pernah campur tangan, seperti di Prancis yang melarang nama Nutella dan Inggris yang menolak nama Cyanide. Di Selandia Baru, seorang anak bernama "Talula Does the Hula From Hawaii" harus berada di bawah pengawasan pengadilan untuk mengganti namanya.
Para ahli pun mengingatkan agar orang tua bijak memilih nama yang tidak hanya bermakna, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana masyarakat akan memandang anak mereka berdasarkan nama tersebut.
6. FAQ
Kenapa generasi milenial lebih suka nama yang panjang?
Karena nama panjang dinilai lebih modern, unik, dan mencerminkan kelas sosial yang lebih tinggi.
Apa alasan nama lokal semakin ditinggalkan?
Nama lokal ditinggalkan karena dianggap terlalu tradisional dan tidak mencerminkan identitas global.
Apakah nama bisa mempengaruhi masa depan anak?
Studi menunjukkan bahwa nama bisa mempengaruhi persepsi sosial, karier, dan interaksi.
Apakah ada negara yang melarang nama tertentu?
Beberapa negara seperti Islandia, Jerman, dan Prancis memiliki aturan ketat terkait nama anak.
Mengapa nama asing lebih diminati?
Nama asing memberi kesan modern, berkelas, dan dianggap cocok dengan dunia global yang semakin terbuka.
(Di tengah kondisi kesehatan yang jadi sorotan, Fahmi Bo resmi nikah lagi dengan mantan istrinya.)
(kpl/rmt)
Ricka Milla Suatin
Advertisement
-
Teen - Lifestyle Gadget Mau Foto Astetik? Kamera Mini Andalan Anak Skena yang Lagi Viral Ini Patut Dicoba
-
Teen - Fashion Hangout Pilihan Jam Tangan Stylish untuk Anak Skena yang Mau Tampil Lebih Standout
